Ekonomi Tiongkok di Persimpangan Jalan
Pada tahun 2023, ekonom Amerika Adam S. Posen dari Peterson Institute menulis artikel berjudul “Who Killed China’s Economy?” di Foreign Affairs. Ia menyoroti satu pertanyaan besar: mengapa Tiongkok menjadi satu-satunya negara Asia Timur yang belum pulih ke tingkat pertumbuhan pra-COVID? Jawabannya, menurut Posen, adalah gabungan antara otoritarianisme politik dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap arah ekonomi nasional.
Kebijakan zero-COVID, kontrol negara atas sektor swasta, dan represi terhadap tokoh bisnis seperti Jack Ma telah membuat rumah tangga Tiongkok lebih memilih menabung daripada membelanjakan atau berinvestasi. Di tahun 2025, gejala ini masih terasa. Pemerintah Tiongkok menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5%—sebuah proyeksi yang tergolong moderat, terutama di tengah ketidakpastian geopolitik di Eropa Timur, Timur Tengah, serta meningkatnya ketegangan dagang dengan Amerika Serikat. Menurut Bloomberg Economics, angka ini mencerminkan batas bawah dari potensi perlambatan struktural, bukan sinyal pemulihan yang kuat.

Sementara sektor unggulan seperti kendaraan listrik, panel surya, dan turbin angin tumbuh, laporan dari IMF dan The Economist menilai kontribusinya belum cukup untuk menggantikan peran sektor properti—yang masih terpuruk akibat krisis utang Evergrande, Country Garden, dan pengembang besar lainnya. Sejak 2020, aktivitas sektor swasta menurun tajam, memperkuat dominasi BUMN yang dinilai pemerintah lebih mudah dikendalikan. Kombinasi pelemahan properti, konsumsi yang lesu, dan pergeseran ke ekonomi berbasis kontrol negara membuat arah pertumbuhan Tiongkok dalam 3–4 tahun ke depan cenderung stagnan.
Meskipun kita belum memiliki informasi yang cukup untuk memetakan arah pasti perekonomian Tiongkok, situasi global yang belum stabil memperkuat urgensi bagi Indonesia untuk mencermati dampak perlambatan ini—mulai dari tekanan pada ekspor dan investasi, hingga potensi persaingan tidak sehat di pasar domestik. Pada saat yang sama, Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif baru sebesar 10% terhadap negara-negara BRICS yang dianggap “anti-Amerika”, termasuk Tiongkok dan berpotensi Indonesia, yang dapat memperburuk ketidakpastian jalur perdagangan kawasan.

Dampak Langsung bagi Indonesia
1. Penurunan Permintaan Komoditas
Batubara dan nikel—dua ekspor utama Indonesia ke Tiongkok—berisiko terdampak. S&P Global Commodity Insights (5 Juli) memperkirakan permintaan nikel untuk baja tahan karat di Tiongkok akan turun hingga 8% tahun ini. Kawasan industri seperti Morowali dan Weda Bay harus bersiap menghadapi tekanan harga dan potensi overkapasitas produksi.
2. Banjir Produk Impor Murah (Dumping)
Untuk mengatasi kelebihan pasokan, Tiongkok mulai mengekspor agresif produk-produk seperti panel surya, kendaraan listrik, dan baja ringan ke Asia Tenggara. Reuters (4 Juli) melaporkan tren peningkatan ekspor ini sejak kuartal kedua 2025. Indonesia kemungkinan besar menjadi target utama, memberi tekanan besar pada produsen lokal.
3. Melambatnya Investasi Tiongkok ke Indonesia
Menurut Nikkei Asia (6 Juli), perusahaan-perusahaan Tiongkok kini menerapkan strategi “capital preservation”, memperlambat ekspansi luar negeri. Proyek besar seperti pabrik EV BYD di Subang dan pengembangan kawasan industri di Weda Bay kini dalam fase evaluasi ulang.
Kenapa Ini Penting untuk Dunia Usaha & KADIN
Kondisi ini bukan sekadar statistik makroekonomi. Ini adalah peta ulang risiko dan peluang bagi pelaku usaha Indonesia. Ketergantungan pada pasar Tiongkok—baik sebagai mitra dagang maupun sumber investasi—menuntut adaptasi strategis.
KADIN dan para pemangku kepentingan industri perlu mempertimbangkan tiga respons utama:
- Diversifikasi pasar ekspor ke wilayah dengan permintaan lebih stabil seperti India, Timur Tengah, dan Afrika.
- Perkuat proteksi sektor industri dalam negeri, terutama terhadap produk dumping melalui instrumen non tarif.
- Jaga arus investasi asing tetap sehat, dengan kepastian regulasi, insentif fiskal, dan infrastruktur kawasan industri yang menarik.
“Ketika Tiongkok goyah, ASEAN punya peluang—jika Indonesia siap.”