WEEKLY UPDATE

KII GEOPOLITICAL PULSE

Edisi Kedua: Perang Dagang, Nasibmu kini?

WhatsApp-Image-2025-06-24-at-15.08.29-1-e1751866453553.jpeg

Ahmad Syarif
Editor

Foto: Trump bersama Susie Wiles, Chief of Staff Presiden Trump.

Meski perhatian Presiden Trump tersita oleh konflik Timur Tengah dan Eropa Timur, perang dagang tetap berlanjut. Masa tenggang 90 hari bagi mitra dagang selain Tiongkok akan berakhir 8 Juli; tarif berlaku mulai 9 Juli. Menteri Keuangan Scott Bessent menyatakan negara yang beritikad baik bisa mendapat perpanjangan, menegaskan fokus utama tetap Tiongkok. 

Selama masa jabatan pertamanya, Trump dan Tiongkok menyepakati perjanjian dagang (2020) dimana Tiongkok berkomitmen membeli produk AS senilai $200 miliar hingga akhir 2021. Namun, realisasinya hanya mencapai 58%. Kegagalan ini disebabkan oleh kombinasi pandemi, perlambatan ekonomi, dan ketiadaan mekanisme implementasi yang jelas. Di sisi lain, AS juga membatasi aktivitas perusahaan teknologi Tiongkok seperti Huawei dan ZTE, yang ikut menurunkan aktivitas ekonomi bilateral. Pada 11 Juni 2025, Trump mengklaim tercapainya kesepakatan baru yang menunggu finalisasi Presiden Xi. Bersamaan, AS dan Tiongkok menyepakati pengiriman terbatas logam tanah jarang, penting untuk teknologi dan pertahanan. Namun Gedung Putih menegaskan kesepakatan ini belum mencerminkan normalisasi penuh, dan tarif baru untuk sektor teknologi dan farmasi masih terbuka. 

Sejauh ini hanya Inggris yang sudah secara resmi memiliki kesepakatan dagang dengan Amerika. 

Trump menghadapi tekanan domestik: inflasi domestik yang mulai meningkat dan kritik atas serangan ke Iran membuat Trump harus mengambil sikap untuk memastikan konsumer domestik tidak marah karena kenaikan harga akibat perang dagang. 

Xi Jinping, di sisi lain, ingin menjaga stabilitas ekonomi dan sosial—akses ke pasar AS krusial untuk menjaga pabrik-pabrik di Tiongkok untuk tetap berproduksi, bagi Xi Jinping menjaga buruh tetap bekerja merupakan strategi menjaga stabilitas sosial. PM Li Qiang menyebut perang dagang telah merusak ekonomi global dan menyerukan de-eskalasi. 

Kedua Presiden, memiliki motif untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik. Sangat mungkin keduanya akan melunak dan menyetujui perjanjian dagang sebelum 8 July. 

Posisi Indonesia dalam Trade War AS: Menanti Keputusan 8 Juli

Indonesia telah mengirim delegasi dagangnya yang dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Proposal resmi telah disampaikan kepada Jamieson Greer dari USTR, yang merespons positif dan menyampaikan apresiasi atas inisiatif pemerintah Indonesia.

Tokoh kunci yang akan menentukan nasib tarif untuk Indonesia adalah Sarah Ellerman, Asisten U.S. Trade Representative untuk Asia Tenggara dan Pasifik. Ellerman dikenal bukan sebagai sosok hawkish, melainkan deal maker. Sejak 2014, ia telah memimpin sejumlah kesepakatan besar seperti USMCA ( Perjanjian Dagang Amerika–Meksiko–Kanada yang menggantikan North American Free Trade Agreement-NAFTA), Perjanjian Perdagangan Digital AS–Jepang, dan Kesepakatan Dagang AS–Tiongkok

Namun, ruang lingkup tugas Ellerman sangat luas, sehingga kecil kemungkinan seluruh proses bisa selesai sebelum 9 Juli, saat masa tenggang tarif berakhir.

Empat skenario yang mungkin terjadi untuk Indonesia:

  1. Skenario sedang: USTR memperpanjang masa tenggang beberapa bulan ke depan, dengan tetap memberlakukan 10% tarif ke semua negara. 
  2. Skenario baik: USTR memperpanjang masa tenggang tetapi mencabut 10% tarif ke semua negara. 
  3. Skenario berhasil: USTR menerima proposal Indonesia dan membentuk tim untuk merealisasikan rencana peningkatan impor dari AS.
  4. Skenario buruk (kemungkinan rendah): Proposal Indonesia ditolak karena dinilai belum memenuhi harapan dibanding negara lain.

Skenario sedang dan skenario baik, adalah yang paling realistis, harapan utama adalah skenario berhasil, dan apabila ini terjadi maka tim negosiasi harus diacungi jempol. Skenario berhasil masih mungkin untuk Indonesia, mengingat Indonesia tidak memiliki konflik dagang dengan AS, berbeda dengan Vietnam yang sempat dicurigai menyalurkan produk asal Tiongkok untuk menghindari tarif.

Susie Wiles, Chief of Staff Presiden Trump

Susan “Susie” Wiles adalah tokoh kunci di lingkar dalam Donald Trump yang saat ini menjabat sebagai Chief of Staff kampanye Trump sekaligus kepala Save America PAC. Sejak era Reagan, ia dikenal sebagai manajer politik ulung dan kini menjadi penentu utama dalam menjaga stabilitas internal Partai Republik serta mendorong legislasi penting seperti 

One Big Beautiful Bill Act (OBBA) yang kini sedang masuk tahap finalisasi di Komite Anggaran Senat (Senate Budget Committee). Gaya kepemimpinannya yang tenang dan penuh perhitungan—berbeda dengan mantan penasihat Trump seperti John Bolton atau Rex Tillerson—membuatnya bertahan sebagai salah satu figur paling berpengaruh dalam lingkaran Trump menjelang Pilpres 2024.

Apa yang perlu dicermati oleh anggota KADIN Indonesia?

  1. Akses dagang dan lobi kebijakan: Wiles dikenal sebagai “gatekeeper” bagi pengusaha dan pelobi yang ingin masuk ke agenda Trump, termasuk isu tarif, digital services tax, dan insentif manufaktur.
  2. Diplomasi bisnis: Wiles memiliki hubungan erat dengan pelobi ternama seperti Ballard Partners, yang sebelumnya pernah mewakili kepentingan sektor energi dan infrastruktur Indonesia di Washington.
  3. Arah kebijakan Indo-Pasifik: Jika Trump kembali menjabat, kemungkinan besar akan ada penyesuaian hubungan dagang dengan negara-negara ASEAN yang dianggap bisa menjadi alternatif dari Tiongkok. Ini bisa menjadi peluang maupun tantangan bagi

Untuk analisis lebih dalam, simak:

Business implications for Indonesia

Amerika dan Tiongkok saat ini sama-sama berusaha mencapai kesepakatan dagang karena keduanya saling membutuhkan. Bagi dunia usaha di Indonesia, terdapat dua skenario utama yang perlu dicermati:

Pertama, jika kesepakatan tercapai, penting untuk memahami isi kesepakatan tersebut dan dampaknya terhadap Indonesia. Ini membutuhkan perhatian dan analisis mendalam.

Kedua, jika kesepakatan gagal dan tarif tetap diberlakukan, Indonesia menghadapi risiko dan peluang. Risiko utamanya adalah potensi banjirnya produk murah Tiongkok ke pasar domestik—produk yang sebelumnya ditujukan ke Amerika Serikat bisa dialihkan ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Namun, di sisi lain, ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk menggantikan ekspor Tiongkok ke Amerika, terutama untuk produk konsumsi seperti makanan, minuman, furnitur, dan agrikultur.

Peluang terbesar justru terletak pada produk-produk strategis asal Tiongkok yang sulit digantikan oleh Amerika, seperti semikonduktor, logam tanah jarang (rare earth), dan produk farmasi. Ini yang pemerintah dan pelaku bisnis harus memberikan perhatian lebih, yaitu ke sektor-sektor strategis dengan nilai ekonomi yang tinggi.

Untuk analisis lebih dalam, simak:

Podcast of the Week

“Cultivating Competitiveness: Positioning North America as a Strategic Agricultural Bloc” – CSIS (Juni 2025)
Podcast ini membahas strategi dagang AS–Kanada–Meksiko dalam memperkuat posisi sektor pertanian mereka di tengah perang dagang global. Relevan bagi Indonesia, terutama dalam konteks negosiasi tarif dan perluasan akses pasar ke AS.

Insight utama untuk anggota KADIN:
Strategi Kanada dalam memperoleh pembebasan tarif sektoral
Pentingnya positioning sebagai mitra strategis di mata AS
Peluang Indonesia di sektor pertanian, energi, dan kawasan industri

🎧 Dengarkan selengkapnya: CSIS – Cultivating Competitiveness


Dapatkan Artikel ini!

DOWNLOAD SEKARANG!

Bagikan:

Bacaan lainnya!

Editor: Ahmad Syarif

Ahmad Syarif adalah editor untuk KII Geopolitical Pulse. Saat ini, beliau sedang menempuh studi pada program Doctor of International Affairs di School of Advanced International Studies (SAIS), Johns Hopkins University, kampus Washington, D.C. Sebelum memulai studi doktoralnya, Ahmad bekerja selama sepuluh tahun di BowerGroupAsia, sebuah firma konsultan investasi dan kebijakan di Asia. Disertasinya berfokus pada perbandingan strategi non-pasar yang digunakan oleh investor dari Amerika Serikat dan Tiongkok di Asia Tenggara.

Penanggung Jawab oleh:

  • Mulya Amri Ph.D. | Ketua Pengurus Kadin Indonesia Institute (KII)
  • Fakhrul Fulvian | Direktur Insights KII

Co-editor: Jesslyn Katherine, Program Manager KII

dan tim KII Geopolitical Pulse

Tentang kami

Contact

support@kadininstitute.id

Menara Kadin Indonesia, Jl. H.R. Rasuna Said, Blok X-5 Kav. 2-3, Jakarta 12950

© 2025 Kadin Indonesia Institute