Presiden Prabowo memberikan dua pidato penting di New York pada September lalu: pertama, dalam Two-State Solution Summit yang diprakarsai oleh Prancis dan Arab Saudi, dan kedua pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) ke-80 keesokan harinya. Keduanya menegaskan peran Indonesia sebagai penggerak perdamaian Timur Tengah melalui two-state solution, dengan prioritas pada pengakuan penuh atas kedaulatan Palestina. Pidato tersebut menandai reposisi Indonesia sebagai mediator moral yang menjembatani kepentingan dunia Muslim dan kekuatan Barat.
Momentum UNGA bertepatan dengan pengakuan beberapa sekutu utama Amerika Serikat—termasuk Inggris, Prancis, Australia, dan Kanada—terhadap Palestina, memperkuat posisi Indonesia dalam arsitektur diplomasi global. Namun, implementasi two-state solution masih terhambat oleh persoalan teknis: batas wilayah, demiliterisasi Hamas, dan pelepasan sandera. Peran Indonesia di sini bukan sekadar simbolik, tetapi strategis dalam memastikan dialog berlanjut pada level teknis.
Sebagai tindak lanjut, Presiden Donald Trump mengumumkan 20-Point Peace Plan untuk Gaza yang mencakup pembentukan International Stabilization Force (ISF)—ide yang juga disampaikan oleh Prabowo dalam pidatonya. Perkembangan terbaru memperkuat momentum tersebut: pada Oktober 2025, Israel dan Hamas menyetujui Fase 1 rencana perdamaian Gaza, mencakup gencatan senjata terbatas, pembebasan sandera, dan penarikan pasukan secara bertahap. Trump menyebut langkah ini sebagai “fase awal dari akhir perang Gaza”.
Meski ada keraguan atas keberlanjutan proses ini—mengingat rekam jejak dua serangan besar Israel yang terjadi di tengah dialog, baik dengan Iran maupun Qatar—dukungan global yang kian meluas, termasuk pembukaan kantor perwakilan Palestina di London, menunjukkan momentum baru. Di tengah krisis kemanusiaan Gaza, setiap langkah menuju perdamaian, sekecil apa pun, perlu dijaga sebagai tanggung jawab moral dan solidaritas internasional.
Diplomasi Ekonomi KADIN: Momentum Pasca-UNGA

Bersamaan dengan diplomasi politik, KADIN Indonesia memanfaatkan momentum UNGA untuk memperkuat diplomasi ekonomi. Ketua Umum KADIN, Anindya Bakrie, memimpin business roundtable bersama Hashim Djojohadikusumo dan Pandu Sjahrir dengan US Chamber of Commerce, US-ASEAN Business Council, dan American Indonesian Chamber of Commerce. KADIN juga berpartisipasi dalam Private CEO Roundtable with UAE Leadership yang diselenggarakan oleh Utusan Khusus untuk Bisnis dan Filantropi Uni Emirat Arab, H.E. Badr Jafar, yang membuka peluang investasi di energi terbarukan, infrastruktur, dan sektor strategis lainnya. Selain itu, KADIN bergabung dalam delegasi presiden ke Kanada dan menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Canadian Chamber of Commerce, serta mengadakan pertemuan sela dengan mitra bisnis di Amerika Serikat, Kanada, dan Belanda.
Pasca-UNGA, kestabilan politik yang muncul dari kesepakatan Gaza dapat menciptakan efek kepercayaan (confidence effect) di pasar global. Bagi anggota KADIN, fokus kini adalah menerjemahkan hasil forum dan MoU menjadi proyek nyata—melalui task force diplomasi ekonomi, tindak lanjut lintas sektor, dan pemetaan peluang di bidang energi, pangan, serta teknologi. Dengan tindak lanjut yang terukur, diplomasi ekonomi Indonesia dapat melengkapi diplomasi politik Presiden—mengubah momentum geopolitik menjadi manfaat ekonomi konkret bagi pembangunan nasional dan memperkuat posisi Indonesia dalam arsitektur ekonomi global.