Jakarta, 4 Agustus 2025 – Kadin Indonesia Institute (KII) bekerjasama dengan WKU bidang Perdagangan dan Perjanjian Luar Negeri menggelar forum diskusi 8% Club berjudul “Mengupas dan Mengimplementasikan Jalur Perdagangan Bilateral: Indonesia–UE dan Indonesia–AS: Sosialisasi & Persiapan Perjanjian Politik IEU-CEPA dan Kerangka Perdagangan Indonesia–AS.” Forum ini menjadi ajang membedah peluang, risiko, sekaligus rekomendasi aksi yang harus segera diambil dunia usaha.
Sorotan Pembuka: Momentum Emas untuk Diversifikasi Perdagangan
Pak Pahala Mansury, selaku Wakil Ketua Umum bidang Perdagangan dan Perjanjian Luar Negeri, dalam sambutan pembukanya, Pahala Mansury menyatakan bahwa kontribusi sektor perdagangan diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.
“Indonesia masih memiliki ruang untuk meningkatkan rasio net export terhadap PDB jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan. Dengan populasi 280 juta jiwa, kita harus mampu memperkuat posisi dalam global supply chain dan memanfaatkan peluang dari pasar besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa,” ujar Pahala. Ia menekankan bahwa KADIN Indonesia memiliki peran strategis dalam membuka akses pasar bagi sektor swasta dan UMKM, khususnya melalui negosiasi perjanjian perdagangan bebas (CEPA).
Hubungan Dagang Indonesia–UE
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Djatmiko Bris Witjaksono, menekankan bahwa Indonesia–EU CEPA adalah perjanjian dagang bilateral paling komprehensif dengan cakupan 25 bab yang meliputi liberalisasi, fasilitasi perdagangan, kerja sama, dan isu-isu baru. Ia menyebutkan bahwa 98% pos tarif dan 99% nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa akan mendapatkan preferensi, dengan target penyelesaian substansial pada September 2025.
“CEPA akan membuka akses optimal untuk produk unggulan Indonesia seperti alas kaki, tekstil, makanan olahan, sawit, elektronik, dan hasil perikanan. Selain itu, CEPA memberikan jaminan iklim investasi kondusif, khususnya di bidang energi terbarukan, kendaraan listrik, ICT, dan farmasi,” jelas Djatmiko.
Anne Patricia Sutanto, Wakil CEO Pan & Brothers Tbk, perwakilan industri tekstil, menekankan perlunya deregulasi yang lebih efisien. “Kita harus mampu menyaingi efisiensi regulasi negara seperti Singapura. Saat ini UMKM dan pelaku usaha masih menghadapi tantangan sosialisasi standar dan regulasi yang rumit, padahal potensi ekspor kita sangat besar jika tarif bisa ditekan,” ujarnya.
Sementara itu, Donald Wihardja, Direktur Strategi, Keberlanjutan & Hubungan Pemerintah, PT Schneider Electric Indonesia menyoroti peluang masuknya teknologi tinggi dari Eropa ke Indonesia. “Banyak produk terkait efisiensi energi masih diproduksi di Eropa. Dengan multihub operation, Indonesia bisa menjadi pusat produksi dan distribusi yang menyaingi Singapura dan Johor Baru,” katanya.
Hubungan Dagang Indonesia–AS
Paparan mengenai perkembangan perundingan dengan Amerika Serikat disampaikan oleh Direktur Eksekutif Bidang Strategi dan Kebijakan Ekonomi DEN, Gaffari Ramadhan. Menurutnya, kebijakan tarif AS terhadap produk ekspor Indonesia bersifat resiprokal dan sektoral, terutama untuk melindungi keamanan nasional. Simulasi DEN menunjukkan bahwa penurunan tarif dari 32% menjadi 19% berpotensi mendorong kenaikan PDB sebesar 0,2%, terutama melalui peningkatan investasi.
“Indonesia perlu memperbaiki iklim bisnis dan merealokasi industri padat karya dari negara lain agar berpindah ke Indonesia. Deregulasi dan penyederhanaan izin usaha menjadi faktor kunci,” jelas Gaffari.
Ewijaya, Direktur Eksekutif PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk, perwakilan sektor perikanan, mengingatkan bahwa ketentuan tarif masih menjadi tantangan utama. “Dengan 80% ekspor produk perikanan ke pasar Amerika dan 10% ke Uni Eropa, kepastian tarif sangat penting. Tarif 19% memang lebih baik dibanding 32%, tapi idealnya 10% agar tidak membebani produsen maupun end-user,” paparnya.
Dari sektor padat karya, Devi Triyanti, Direktur Urusan Pemerintahan dan Hubungan Publik, PT Nike Indonesia, menambahkan pentingnya strategi defensif dan ofensif. “Tren global menuju proteksionisme menuntut Indonesia untuk memperkuat ekosistem bisnis domestik. Dengan FTA, kita bisa menurunkan beban tarif 7–12% sehingga lebih kompetitif dengan Vietnam dan negara lain,” ujarnya.
Pengantar Wamenlu Havas Oegroseno: Tantangan Regulasi dan Diversifikasi Mitra Dagang
Dalam kata pengantarnya, Wakil Menteri Luar Negeri Havas Oegroseno menyoroti tantangan regulasi Uni Eropa, khususnya terkait kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR). Menurutnya, isu ini bukan hanya persoalan Indonesia, melainkan juga dialami oleh banyak negara berkembang lain.
Ia juga menyoroti potensi diskriminasi dalam penerapan aturan EUDR di Eropa. Beberapa negara anggota, seperti Luxemburg dan Austria, mengajukan pengecualian bagi petani mereka. Sementara itu, produk minyak nabati baru belakangan masuk ke dalam cakupan regulasi, dengan adanya upaya pemberlakuan standar negligible risk bagi petani Eropa. “Hal ini berpotensi diskriminatif, karena justru membebani negara produsen seperti Indonesia,” ujar Havas. Selain itu, ia menyinggung pentingnya dukungan bagi petani kecil, khususnya perempuan, di sektor sawit, kakao, kopi, dan karet. “Jika regulasi EUDR tidak hati-hati, jutaan petani kecil bisa terpinggirkan.
Lebih jauh, ia menekankan perlunya Indonesia tidak bergantung pada AS dan Eropa saja. “Perdagangan global tidak hanya AS dan Eropa yang totalnya sekitar 15 persen. Ada 85 persen pasar lain yang harus kita masuki,” tegasnya. Diversifikasi mitra dagang menjadi kunci—mulai dari Afrika Utara yang berpotensi menjadi basis pabrik pupuk, Afrika Timur yang membutuhkan obat dan vaksin, Afrika Barat dan Selatan untuk minyak dan gas, hingga Amerika Latin yang berpopulasi besar namun masih minim jejak ekspor Indonesia.
Ia menutup dengan pentingnya peran ASEAN sebagai kawasan strategis untuk memperkuat basis perdagangan regional. Sebagai contoh, Havas mengungkap rencana promosi dagang bersama di Sabah pada Oktober mendatang dengan lebih dari 200 peluang bisnis, mulai dari kebutuhan pipa, filter air, hingga produk perikanan. Ia berharap langkah-langkah diversifikasi pasar dan sosialisasi perjanjian dagang Indonesia dengan beragam negara lainnya dapat terus dilakukan, untuk kepentingan sektor swasta dan UMKM, sebagai penggerak ekonomi Indonesia.
Peran Swasta dan UMKM
Diskusi juga menyoroti pentingnya UMKM dan sektor swasta dalam memanfaatkan peluang dari CEPA. Akses pasar yang lebih luas harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas, pemenuhan standar teknis, serta fasilitasi perdagangan. Dunia usaha diharapkan memanfaatkan dukungan atase perdagangan Indonesia di berbagai negara, serta memaksimalkan business matching untuk mencari mitra strategis.
Penutup
Mengakhiri rangkaian diskusi, James T. Riady menekankan pentingnya kolaborasi pemerintah, dunia usaha, dan UMKM. “Perdagangan internasional tidak hanya soal angka ekspor-impor, tapi juga tentang bagaimana kita memanfaatkan peluang untuk memperkuat daya saing bangsa. Indonesia harus hadir sebagai pemain utama, bukan sekadar pasar,” ujarnya.
Dengan momentum politik dan ekonomi yang kondusif, Indonesia menargetkan penyelesaian perjanjian dagang strategis dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam waktu dekat. Peran aktif KADIN, sektor swasta, dan UMKM menjadi kunci untuk memastikan manfaat perdagangan bebas dapat dirasakan secara luas bagi perekonomian nasional.
Untuk rekaman acara secara penuh, saksikan video rekaman di: https://www.youtube.com/live/NW5aWzUE8fU